Anda di sini

Catatan ketika berkunjung ke Keraton Yogyakarta

Advertisement
 Salah satu bangunan yang terdapat di kawasan keraton.
SENTIASA RAMAI PENGUNJUNG: Salah satu bangunan yang terdapat di kawasan keraton.

 

APABILA orang lain berbuat baik terhadapmu, tulislah di batu, agar tidak hilang dan selalu teringat. Saya teringat betapa banyak kebaikan yang diberikan oleh orang lain kepada saya, semuanya akan saya pahatkan di batu. Jika tidak dapat dipahatkan di batu, biarlah saya pahatkan di hati saja untuk menjadi kenang-kenangan.

Kalau bukan kerana kebaikan orang lain, mana mungkin saya boleh sampai ke Jogja. Alhamdulillah, saya diberikan anugerah memiliki sahabat-sahabat, rakan dan kenalan yang baik, sehingga saya hanya perlu membawa wang saku untuk membeli buku dan belanja makan sederhana. Biasanya ada pihak yang baik hati menyediakan tiket, hotel dan pengangkutan, dan semuanya perlu disyukuri.

Begitulah kisahnya bagaimana saya boleh berkunjung ke Jogja, atau Yogyakarta, sebuah kota yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), di Jawa Tengah Indonesia. Setiap kali berkunjung ke Jogja, saya sempat pula melawat Keraton Yogyakarta.

Apa ada di Keraton Yogyakarta? Keraton Yogyakarta adalah sebuah istana Jawa  yang memiliki arsitektur terbaik. Pengunjung dibenarkan untuk berkunjung ke keraton yang menjadi salah satu objek wisata atau pelancongan di Yogyakarta. Sebahagian Kompleks Keraton itu dijadikan muzium yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan termasuk pemberian raja-raja Eropah, replika pusaka keraton, gamelan dan sebagainya.

 

Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang kini berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Indonesia. Keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan masih menjalankan tradisi kesultanan hingga kini. .Keraton ini adalah istana rasmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono 1 pada tahun 1755 beberapa bulan selepas perjanjian Giyanti. Ketika terjadi gempa bumi pada tahun 1867, bangunan ini mengalami kerosakan yang teruk tetapi kemudian ia dipugar semula oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII pada tahun 1889 tetapi bentuknya diubah seperti yang boleh kita lihat sekarang.

Saya bertuah kerana sempat melawat keraton, melihat  pelbagai koleksi yang dipamerkan, dan sempat pula merenung jauh perjalanan sejarah. Saya sempat membaca buku Raffles and the British Invasion of Java karangan Tim Hannigan. Terdapat kisah Raffles berkunjung ke istana itu ketika berada di Jawa sekitar 1811-1816.

Untuk cuba memahami sejarah, saya membeli banyak buku mengenai keraton, salah satunya sebuah buku Mengenal Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat yang ditulis oleh Mas Fredy Heryanto.

 Pintu masuk ke Taman Sari.
PINTU MASUK: Pintu masuk ke Taman Sari.

Buku itu banyak menghuraikan mengenai wilayah Keraton Yogyakarta yang membentang antara Tugu (batas utara) da Krapyak (batas selatan), antara Sungai Code (sebelah timur) dan Sungai Winongo (sebelah barat) dan antara Gunung Merapi an Laut Selatan.

Manakala pusat Wilayah Keraton Yogyakarta luasnya kira-kira 14,000 meter persegi dengan dikelilingi tembok atau benteng setingga 4 meter dan lebar 3 meter. Fungsi Keraton Yogyakarta ialah sebagai tempat tinggal raja dan keluarganya, sebagai pusat pemerintahan dan sebagai pusat kebudayaan dan pengembangannya. Pada zaman kemerdekaan, keraton dibuka untuk kepentingan umum, seperti kegiatan pelancongan, kegiatan ilmu pengetahuan, serta kegiatan lain yang ada hubungannya dengan masyarakat.

Ia juga menjadi muzium perjuangan bangsa kerana Yogyakarta dengan keratonnya pernah digunakan sebagai tempat kegiatan perjuangan mahupun ketika ibu kota Republik Indonesia berada di Yogyakarta.

Banyak hal menarik yang boleh dipelajari ketika berkunjung ke keraton ini. Saya sempat melihat beberapa bangsal yang masih berdiri kukuh. Sempat juga mendengar muzik gamelan dimainkan.

Selepas melihat Keraton, saya sempat pula berkunjung ke tempat pemandian Taman Sari, yang terletak di sebelah barat daya keraton dan berada di dalam benteng keraton. Kawasan ini adalah tempat rekreasi dan tempat pemandian raja.

Satu lagi tempat yang sempat saya kunjungi ialah Makam Imogiri yang terletak di desa Pajimatan, Kelurahan Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, yang terletak kira-kira 17 kilometer dari Yogyakarta, Kompleks makam ini mempunyai luas  sekitar 10 hektar dan terletak di atas Bukit Merak dengan ketinggian 35 hingga 100 meter dari permukaan laut.

 Patung Sultan Hamengku Buwono.
BERJASA: Patung Sultan Hamengku Buwono.

Makam Imogiri menempatkan makam raja-raja Mataram dan pembinaannya dimulakan pada tahun 1630.

Ada pengalaman menarik ketika berkunjung ke makam Imogiri. Pengunjung tidak dibenarkan memasukinya kecuali dengan memakai pakaian Jawa. Saya terpaksa memakai pakaian Jawa dan dapat berziarah ke makam itu dengan tatacara adat yang penuh tradisi.

Keraton Kasultanan Yogyakarta atau Kraton Yogyakarta adalah salah satu kerajaan yang terkemuka di Jawa dan keraton itu masih memelihara tradisi kesultanan hingga sekarang.

“Yen sira dibeciki liyan, tulisen ing watu, supaya ora ilang lan tansah kelingan.” Apabila orang lain berbuat baik terhadapnya, tulislah di batu, agar tidak hilang dan selalu diingat. Yen Sira gawe kebecikan marang lian, tulisen ing lemah, supaya enggal ilang lan ora kelingan.Kalau anda  berbuat baik kepada orang lain, tulislah di tanah, agar cepat hilang dan tidak teringat.

Hanya itu yang berada dalam fikiran saya ketika cuba untuk mencari kata-kata penutup bagi tulisan ini. Pengalaman berkunjung ke Keraton Yogyakarta masih tetap terpahat hingga sekarang.

 Penulis bergambar di Makam Imogiri.
DI KAWASAN MAKAM: Penulis bergambar di Makam Imogiri.

 

 


 



 

Advertisement